Saturday, March 31, 2012

Mulainya dari Adab

Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Pengantar:

 

Artikel berikut ini merupakan tulisan pertama dari serial tulisan berkesinambungan tentang pendidikan yang dimuat di majalah Hidayatullah, mulai edisi ini, Februari 2012. Tulisan yang saya posting di bawah ini merupakan versi orisinal. Jika ingin membaca versi yang lebih renyah, bahasanya lebih lincah, ada sedikit pemotongan tapi sama sekali tidak mengganggu dan bahkan efektif, silakan baca di majalah Hidayatullah.

 

Mohon do'anya agar dapat menuliskannya secara tuntas dan memadai. Tulisan berseri ini kira-kira akan saya tulis dalam 4 atau 8 edisi.

 

Terima kasih kepada redaksi Majalah Hidayatullah yang telah mengizinkan tulisan ini di facebook ketika bulan edisi majalahnya masih berlaku. Semoga Allah Ta'ala berikan barakah dan rahmat-Nya bagi keluarga besar majalah Hidayatullah.

 

"""

Tanpa pembentukan adab yang kuat, tak ada alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah berasrama (boarding school). Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama. Ini pula yang harus ditegakkan pertama kali sebagai bagian dari tarbiyah. Ibarat tanah, kita siapkan lahannya dulu sebelum kita tanami. Ibarat sawah, kita olah dulu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menyemai berbagai bentuk kebaikan dan 'ilmu. Tanpa ta'dib dan tarbiyah, tak ada pembeda yang sangat penting dengan sekolah yang berangkat pagi pulang sore, kecuali bahwa anak-anak itu tinggal di tempat yang sama, yakni asrama. Tanpa tarbiyah dan ta'dib, sekolah asrama hanya menyediakan tempat menginap, tapi bukan pesantren. Sebagaimana, sekarang telah banyak pondok pesantren yang telah kehilangan kata pesantren, sehingga yang tersisa tinggal pemondokannya saja.

 

Pembentukan adab juga harus menjadi bagian sangat penting dari sekolah sehari penuh (fullday), terlebih ketika berani menempelkan kata islam pada model sekolahnya; apakah islam terpadu, islam integral, islam plus atau apa pun itu. Tanpa ada proses ta'dib yang serius dan terencana, pilihan kita memasukkan anak ke sekolah sehari penuh boleh jadi justru bukan menempa anak agar menjadi pribadi yang baik dan matang, tetapi justru menjerumuskan. Keburukan itu akan lebih besar lagi pengaruhnya pada sekolah berasrama, sebagaimana kebaikannya juga sangat besar jika tertata dengan sangat baik dan penuh kesungguhan.

 

Boleh jadi selama di asrama anak-anak terbiasa berperilaku sopan dan bertutur santun. Tapi tanpa proses ta'dib yang matang, kebaikan dalam berperilaku maupun bertutur hanyalah kebiasaan tanpa dasar, tanpa pilar. Mereka baik karena lingkungan kondusif untuk berbuat baik. Mereka baik karena lingkungan kurang memungkinkan berbuat buruk atau bahkan tidak memungkinkan berbuat jelek. Tapi jika hati tak mengingini, kecintaan terhadap perbuatan baik itu tidak tumbuh dengan kokoh, maka ia akan mudah hilang tanpa bekas begitu keluar dari lingkungan tersebut. Berbagai kebiasaan baik tersebut berubah drastis bukan karena pengaruh lingkungan, tetapi karena sedari awal anak-anak memang tak mengingini kebaikan tersebut, sementara upaya menanamkan kecintaan nyaris tak ada. Salah satu sebabnya, kita menganggap bahwa penjelasan telah cukup untuk menyadarkan. Padahal beda sekali antara faham dan sadar. Penjelasan itu memahamkan, bukan menyadarkan.

 

Lalu, kapan ta'dib perlu kita berikan kepada anak? Sepanjang masa. Selama mereka masih di asrama, selama itu pula proses ta'dib dan tarbiyah berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Tetapi untuk sebuah perubahan terencana, tiga bulan pertama merupakan masa yang amat penting untuk melakukan ta'dib. Inilah masa yang paling strategis. Kita dapat melakukan perubahan kapan saja, tetapi saat paling tepat untuk melakukan perubahan mendasar adalah masa awal masuk asrama atau sekolah. Inilah masa penting membentuk sikap, menanamkan nilai, membangun orientasi belajar dan orientasi hidup. Inilah masa paling berharga untuk membangun adab yang baik dan kuat dalam diri anak.

 

Jadi, awal di asrama sepatutnya kita manfaatkan secara serius untuk membangun hal-hal mendasar yang diperlukan oleh siswa, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mengarungi hidup yang amat panjang. Orientasi kampus bisa saja kita lakukan. Tapi itu bukan yang terpenting. Jika kita mendirikan sekolah untuk sebuah tujuan ideologis yang sangat idealis, jangan segan meninjau ulang apa-apa yang tampak telah lumrah dilakukan berbagai lembaga.

 

Apa yang perlu kita perhatikan dalam proses ta'dib? Pembiasaan dan bahkan pemaksaan atau pengharusan berperilaku sesuai tuntunan (mulazamah), pendampingan sehingga apa yang berat terasa lebih ringan, penyampaian ilmu sehingga anak tak sekedar terbiasa melakukan, dan yang tak kalah pentingnya adalah targhiib wat tarhib. Jika penjelasan memahamkan anak apa-apa yang sebelumnya tidak ia pahami, maka targhiib wat tarhib kita berikan untuk menumbuhkan kesadaran. Dua hal ini, paham dan sadar, merupakan perkara penting yang berbeda ranahnya. Paham itu berada pada ranah kognitif, sementara sadar merupakan jenjang terendah ranah afektif.

 

Mengapa dua hal ini harus kita berikan secara berbarengan (simultan)? Sekedar paham, sematang apa pun pemahamannya hingga mampu menjelaskan secara gamblang dan memuaskan, tidak berpengaruh pada sikap maupun perilaku. Bukankah orang-orang Yahudi banyak yang memahami Islam dengan baik, tetapi mereka tidak bersedia tunduk kepada petunjuk? Sementara kesadaran tanpa mengilmui membuahkan keinginan untuk berbuat, tetapi tanpa terasa bisa terlepas dari tuntunan. Bukankah telah berlalu orang-orang sebelum kita yang gigih beramal tapi terlepas dari kebaikan karena jauh dari petunjuk? Maka, keduanya harus ada: pemahaman dan kesadaran. Keduanya ditumbuhkan berbarengan dengan proses pembiasaan, pendampingan dan pengasuhan.

 

Jika ranah afektif telah tersentuh, kesadaran telah tumbuh, maka hadirnya pemahaman akan menguatkan keyakinan, Semakin kuat ia memegangi nilai, menginternalisasikan dalam dirinya, lalu perlahan ia mengikatkan diri pada nilai tersebut (organizing) dan pada akhirnya semoga sampai pada jenjang karakterisasi diri. Dus, karakterisasi diri merupakan proses panjang. Ia bermula dari kesadaran, memunculkan keinginan berbuat sesuai apa yang ada dalam kesadarannya, menghayati nilai-nilai itu, mengikatkan diri pada nilai atau sistem nilai tersebut dan pada akhirnya mencapai karakterisasi diri.

 

Sungguh, kebohongan besar dan dusta keji jika ada yang menawarkan kiat praktis membentuk karakter hanya dalam waktu dua hari!

 

 

Merebut Masa Awal Sekolah

 

Kembali pada pembahasan tentang ta'dib. Tiga bulan pertama merupakan masa paling penting bagi pembentukan 'adab yang berperan sangat penting bagi proses pembentukan iklim kelas dan budaya sekolah di kemudian hari. Selama tiga bulan, kegiatan akademik diminimalkan, terutama di asrama. Fokus kegiatan ada pada ta'dib dan tarbiyah. Bukan ta'lim.

 

Saya pernah mengusulkan program semacam ini kepada sebuah sekolah dasar, tetapi belum pernah benar-benar menyampaikan secara detil apa saja yang harus dilakukan pada tiga bulan pertama. Baru kulit-kulitnya saja bersebab ada gejala program tersebut terlalu tergesa-gesa dipasarkan sebagai proyek pelatihan oleh sebagian orang sebelum konsepnya benar-benar dipahami dengan matang. Ini tentu saja kontraproduktif bagi sebuah proses ta'dib. Sebuah pelatihan haruslah diilmui secara matang. Jauh lebih baik lagi jika ia dikuati pengalaman lapangan yang sangat kaya, termasuk bagaimana mengatasi masalah yang terjadi selama proses implementasi berlangsung. Jika gagasan selintas sudah menjadi program pelatihan, hampir pasti yang terjadi hanya pencitraan atau permainan saja. Dan hari ini, betapa banyak pelatihan yang sebagian besar isinya adalah ice breaking berupa hiburan. Padahal konsep awal ice breaking adalah upaya memecah kebekuan hanya jika peserta sudah jenuh dan lelah.

 

Apakah sekolah harus mengambil waktu sedemikian lama hanya untuk membentuk adab? Ada dua jawaban sederhana. Pertama, ibarat menanam padi, pembentukan adab merupakan proses penyiapan lahan agar tanaman yang kita semai dapat tumbuh subur. Keberhasilan pembelajaran dan pembentukan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya 'adab pada pribadi tiap siswa. Pembicaraan ini terasa lebih mendesak mengingat banyak anak masuk sekolah berasrama tanpa bekal adab dan mental yang memadai dari rumah. Kita bisa melaksanakan proses pembiasaan dalam waktu lebih singkat. Tetapi sulit berharap bisa terpatri lebih dalam, terbangun lebih kokoh. Kedua, kerepotan mengurusi siswa akibat lalai menyiapkan adab mereka di awal jauh lebih panjang dan melelahkan, sehingga mengkhususkan waktu di awal (khususnya di asrama) akan sangat bermanfaat. Selain itu, jika mereka telah memiliki adab yang kuat serta menghayati fadhilah ilmu maupun menuntut ilmu, kita bisa berharap mereka akan memiliki sikap belajar serta orientasi studi yang baik.

 

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Lalu, apa saja ruang lingkup adab yang perlu kita perhatikan? Do'akan saya. InsyaAllah bulan April saya hadir kembali untuk membahas, tetap di rubrik ini: Kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Sesudahnya, kita berbincang telah fadhilah ilmu dan menuntut ilmu.

 

""" Majalah Hidayatullah edisi Maret insyaAllah memuat tulisan saya bertajuk Pilarnya adalah Adab. Masih rangkaian dari tulisan ini.

Bincang Sederhana tentang Ikhlas

Oleh Mohammad Fauzil Adhim 


Rasulullah saw. ajarkan kepada kita untuk berdo'a dengan ungkapan:

"اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ" (HR. Ahmad). 

"Ya, Allah. Sesungguhya kami berlindung kepadaMu agar tidak menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui. Dan kami memohon ampun kepadaMu dari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya." (HR. Ahmad & imam hadits lainnya).

Nabi Saw. mengingatkan kita: 

"Sesungguhnya Allah Swt. tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu." (HR. Muslim).

Nabi saw. bersabda: 

" إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ"

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas & dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah."

Yahya bin Abi Katsir mengingatkan, "Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal."

Maka, apakah kita abaikan ikhlasnya niat? Sesungguhnya sedekah tidak menjadikan ikhlas jika kita tidak meniati dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus memperbaiki niat kita agar ikhlas ketika bersedekah. Andaikata sedekah yang banyak dengan sendirinya mendatangkan keikhlasan, maka tak ada ahli sedekah yang menjadi bahan bakar api neraka disebabkan tidak ikhlas saat bersedekah (periksa Shahih Muslim bab al-Jihad).

Khawatiri olehmu banyaknya amal shalih, tapi tidak bernilai sama sekali di hadapan Allah Ta'ala. Kita banyak beramal, tapi nilai amal kita di hadapan Allah 'Azza wa Jalla tidak melebihi bobot sehelai sayap lalat atau nyamuk.

Dengarkan kata Sufyan Ats-Tsauri, "Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku daripada niatku, karena niat selalu berubah-ubah."

Seseorang yang telah sering beramal secara ikhlas pun dapat rusak keikhlasannya. Maka apakah kita akan sengaja mengabaikan & meremehkannya? Sedekah yang dikeluarkan seseorang TIDAK AKAN PERNAH menjadikannya ikhlas jika ia mengabaikan keikhlasan. Lebih-lebih sengaja meremehkannya.

Jika 'alim besar sekelas Sufyan Ats-Tsauri saja harus memperjuangkan keikhlasan, maka sebaik apakah kita sehingga meremehkan keikhlasan? Sangat berbeda orang yang bersungguh-sungguh berlatih & berjuang agar ikhlas dengan tetap beramal shalih dengan mereka yang mengabaikannya. Dan yang paling buruk adalah mereka yang sengaja menyerukan kepada manusia untuk mengabaikan keikhlasan. 

Mengkhawatiri hilangnya keikhlasan bukanlah dengan meninggalkan amal, tetapi dengan berjuang SECARA SENGAJA untuk membaguskan niat. Jika kita bersungguh-sungguh mengerjakan amal shalih, mengilmui & perbaiki niat, semoga Allah Ta'ala ampuni yang TERlalaikn dalam niat itu. 

Khawatiri olehmu memudahkan-mudahkan ikhlas & memandangnya sebagai perkara sederhana. Sesungguhnya kelak kita dikumpulkan sesuai niat. Ingatlah ketika Rasulullah saw. bersabda: 

"يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتهِمْ " (HR. Ibnu Majah). 

"Sesungguhnya manusia dikumpulkan (di Padang Mahsyar) berdasarkan niat-niat mereka." (HR. Ibnu Majah).

Ibnul Mubarak mengingatkan, "Betapa banyak amal yang kecil mnjadi bernilai besar karena niat & betapa banyak amalan besar yang menjadi bernilai kecil karena niat."

Albert Tak Pernah Kembali

Ada seorang tokoh yang sangat dihormati oleh dunia psikologi. Ia sangat terkenal dengan ucapannya yang mengagumkan –dan saya tidak berani berkata demikian—tentang anak. Ia berkata, "Berikanlah kepadaku selusin anak-anak sehat, tegap dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka."

 

"Aku jamin," kata tokoh kita ini, "Aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja dan mendidiknya untuk menjadi tipe spesialis yang aku pilih –dokter, pengacara, seniman, saudagar dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, dan ras orangtua."

 

Ia tidak main-main. Ia berkata dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak pernah bersedia membuktikan ucapannya. Yang ia buktikan adalah, menerapkan teorinya untuk menimbulkan rasa takut pada anak. Ia melakukan percobaan bersama Rosalie Rayner di Jon Hopkins. Yang dipilih menjadi kelinci percobaan bukan seekor kelinci, tetapi seorang anak yang lucu dan cerdas bernama Albert. Usianya baru sebelas bulan ketika itu. Ia tinggal di sebuah rumah perawatan anak-anak cacat karena ibunya pengasuh di situ. Ia sendiri sangat sehat dan cerdas.

 

Sekarang, rasa takut ingin diciptakan. Ketika Albert sedang asyik bermain dengan tikus putih kesayangannya, lalu menunjukkan perilaku hendak menyayangi binatang itu, lempengan baja dipukul keras-keras tepat di belakang kepalanya sehingga suaranya sangat memekakkan telinga. Albert bukan saja tersentak kaget. Ia sangat ketakutan, tersungkur jatuh dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Wajahnya sangat pucat karena rasa takut yang luar biasa.

 

Reaksi mengerikan ini belum cukup bagi peneliti. Mereka mengulangi lagi proses tersebut. Kali ini Albert tersentak, tersungkur dan mulai gemetar ketakutan. Seminggu kemudian ketika tikus itu diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja yang memekakkan telinga, sekali lagi tepat di belakang kepala dekat telinganya. Ketakutan Albert semakin bertambah-tambah, dan ia menangis keras. Ia merasa ngeri. Akhirnya, setiap kali tikus itu muncul –walapun tidak diiringi pukulan lempeng baja yang memekakkan telinga—Albert mulai menangis, membalik dan berusaha menjauhi tikus itu.

 

Kelak, ia bukan saja takut pada tikus. Ia juga ngeri melihat kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang cerdas dan lucu itu sekarang sudah berubah menjadi sakit jiwa. Kedua peneliti itu bermaksud menyembuhkannya lagi, jika memungkinkan, tetapi Albert dan ibunya segera pergi meninggalkan rumah perawatan itu. Dan tak ada yang tahu nasib Albert, sementara pihak yang berwenang tidak pernah bersikeras menemukannya.

 

Anak itu memang pergi dengan menjalani nasibnya, diiringi tangis orangtua yang tak habis-habisnya menetes. Tetapi J.B. Watson yang telah menyebabkan anak itu menderita seumur hidup, menjadi orang yang sangat dikagumi karena "penemuannya". Jutaan orang mengangkat topi untuknya karena jasa-jasanya yang luar biasa dalam bidang psikologi. Hari ini, kita juga patut "berterima kasih" kepadanya. Setidaknya, dia telah berjasa menunjukkan contoh buruk perlakuan terhadap anak, sehingga kita tidak perlu mengulangi kebodohan serupa. Atau… jangan-jangan kita sebenarnya lebih kejam daripada Watson? Inilah yang perlu kita renungkan secara jujur.

 

Boleh jadi kita memang tidak segila Watson, tetapi kita menyebabkan anak-anak kita rapuh jiwanya karena komunikasi yang salah. A.G. Rego, penulis buku How to Stop Worrying & Start Livingmenunjukkan bahwa kegelisahan, kecemasan dan ketidaktenangan banyak berawal dari cara berpikir yang salah. Kita sibuk mengandaikan masa lalu, mengingat-ingatnya dengan hati perih, lalu membayangkan seandainya dapat mengubah apa yang sudah terjadi pada masa lalu kita, sehingga kita tidak bergerak maju. Karena itu, A.G. Rego menyarankan untuk melupakan masa lalu.

 

Ambillah pelajaran dari masa lalu, tangisilah kebodohan-kebodohan dan kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah kita di masa silam sebagai bentuk penyesalan dan pertanggung-jawaban kepada Allah'Azza wa Jalla. Tetapi tangisan itu merupakan penggerak untuk menuju iman yang lebih bersih, 'ibadah yang lebih khusyuk dan 'amal yang lebih baik. Bukan untuk membuat kita terkungkung di dalamnya. Menyibukkan diri dengan berandai-andai ("Coba saya kemarin begini…."), justru akan menjadikan jiwa rapuh dan mental kita sakit.

 

Menyibukkan diri dengan kata seandainya, juga dapat menjadi pintu setan untuk merusak iman dan menghancurkan kekuatan ruhiyah. Kasus-kasus depresi dimana orang kehilangan harapan dan tak jarang menyalahkan Tuhan, kerapkali berkait erat dengan kecenderungan mengandaikan masa lalu. Sibuk berandai-andai tentang masa lalu yang menyedihkan agar berubah menjadi membanggakan, sering menjadi penyebab keputus¬asaan yang amat berat sebelum menghadapi tantangan nyata. Ini berakibat remuknya kekuatan untuk menghadapi persoalan. Ada masalah sedikit, sudah menimbulkan guncangan besar bagi jiwa. Ada kesalahan sedikit yang ia lakukan, segera saja ia tak habis-habisnya menyalahkan Tuhan –secara langsung maupun tidak—meskipun pengetahuan agamanya luas.

 

Teringatlah saya dengan Rasulullah saww.. Suatu saat beliau pernah mengingatkan, "Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, 'Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.' Katakanlah, 'Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.' Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan."(HR. Muslim).

 

Berpijak pada hadis ini, tak ada tempat bagi kita untuk menyibukkan diri dengan kata seandainya atas apa-apa yang sudah terjadi. Tak ada manfatnya mengenang masa lalu dengan sibuk berandai-andai. Masa lalu tak pernah menjadi pelajaran, kecuali apabila kita melihatnya dengan pikiran yang jernih, jiwa yang tenang, hati yang bersih, sikap yang baik dan perasaan yang ikhlas dalam menerima takdir. Barangkali kita memang tidak menggunakan kata seandainya, tetapi betapa sering kita justru mengajarkan maknanya kepada anak-anak kita. Kita contohkan kepada mereka bagaimana menyibukkan diri mengandaikan masa lalu dan tidak ridha dengan apa yang sudah terjadi.

 

Astaghfirullahal 'adzim.

 

Sibuk mengandaikan masa lalu, juga menyebabkan anak-anak yang cerdas menjadi minder, anak-anak yang hebat menjadi patah semangat dan anak-anak yang kreatif menjadi kehilangan inisiatif. Bukan tidak mungkin mereka bahkan harus menjalani perawatan yang terus-menerus. Mereka menjadi generasi yang lemah tak berdaya; generasi yang Allah perintahkan kepada kita agar merasa takut jangan-jangan meninggalkan di belakang kita generasi yang seperti itu. Allah firmankan dalam kitab-Nya:

 

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا

 

"Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar)." (QS. An-Nisaa': 9).

 

Lalu, apakah mungkin orangtua mengajari anak berandai-andai, sementara kita tahu bahwa di dalamnya ada keburukan yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita tentang hasil sebuah penelitian yang saya baca saat membuat tulisan ini. Ada hal yang mengejutkan –atau sebenarnya tidak terlalu mengherankan—bahwa 30 persen dari kasus depresi yang dialami anak, bersumber dari komunikasi yang tidak sehat antara orangtua dan anak. Lebih khusus lagi komunikasi antara ibu dan anak, meski dalam kasus lain lebih banyak berkait dengan pola komunikasi yang buruk antara ayah dan anak. Di sisi lain, komunikasi ibu dan anak dipengaruhi oleh kualitas komunikasi suami-istri, disamping tentu saja faktor pengalamannya dalam keluarga.

 

Sikap mental yang rawan terganggu, juga banyak diserap dari orangtua. Kadang kita tidak menyadari, tetapi kita mengajari anak untuk berandai-andai dengan masa lalu ketika mata kita membelalak seraya berkata, "Bapak kan sudah berkata. Coba kalau kemarin ikut les, nilaimu pasti bagus. Kamu tidak kalah dengan temanmu."

 

Atau ketika anak selesai ikut lomba, kita pukul kepala kita sendiri sambil merutuk, "Ah, coba seandainya kamu tadi bawa cat air… ah, coba kamu bawa, pasti kamu menang."

 

Sekedar catatan, pengalaman yang sangat membekas dan memberi pengaruh kuat kepada anak untuk berandai-andai dengan masa lalu –bukan masa depan—banyak terjadi saat anak gagal mengikuti lomba. Termasuk dalam kategori gagal adalah mereka yang menjadi juara dua, juara tiga, juara harapan… dan apalagi yang tidak memiliki harapan menjadi juara. Mereka yang menjadi juara dua dengan selisih nilai yang sangat sedikit, justru lebih rentan mengalami sindrom "seandainya" karena orangtua, guru serta orang-orang dekat lainnya seringkali justru lebih ekspresif dalam mengungkapkan kata seandainya dan sekaligus menyertai ucapan itu dengan menunjukkan kekecewaan yang berat. Itu sebabnya, saya melarang anak-anak ikut lomba. Boleh jadi mengikuti acara lomba lukis, tetapi bukan dalam rangka lomba, melainkan sebagai kesempatan melukis bersama.

 

Anak-anak yang lemah jiwanya, kerapkali juga berawal dari melihat orang yang sangat dengannya suka merutuk masa lalu. Mungkin karena kecewa, tanpa sadar seorang bapak memaki-maki masa lalu, "Ah, bodoh… bodoh…. Seandainya tadi saya tidak singgah, mungkin tidak begini kejadiannya."

 

Ah… jangan-jangan kita iman yang belum tertanam kuat di hati kita, sehingga tidak ridha terhadap takdir-Nya.

Meraih Barakah Keluarga

Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Bukan harta yang menyebabkan duka atau bahagia, tetapi jiwa kita. Bukan sempat yang menyebabkan kita mampu menjalin hubungan yang lebih erat dengan istri atau suami kita, tetapi selarasnya kondisi ruhiyah kita. Sebab sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, ruh itu seperti pasukan. Mereka akan mudah bersatu dan cenderung mendekat dengan yang serupa. Sebaliknya akan mudah berselisih, meski senyum masih mengembang di wajah mereka. Hati gelisah, jiwa resah, ketenangan tak lagi kita rasakan dan pelahan-pelahan kita mulai mengalami kehampaan jiwa. Ketika itu terjadi, banyak hal tak terduga yang bisa muncul. Kita bisa mencari "jalan keluar" yang justru semakin menjauhkan satu sama lain, meski masih tinggal serumah, masih sama-sama aktif di kegiatan dakwah yang sama.

Maka ada yang perlu kita perhatikan. Bukan hanya bagaimana cara berkomunikasi efektif antara suami-isteri; bukan pula semata soal bagaimana kita memberi perintah yang menggugah kepada anak-anak kita. Lebih dari itu, ada yang perlu kita periksa, adakah ruh kita saling bersesuaian satu sama lain ataukah justru sebaliknya saling berseberangan. Boleh jadi kita bertekun-tekun dan saling melakukan kegiatan yang sama-sama penuh kebaikan, tetapi niat yang mengantarkan dan mengiringi berbeda, maka yang kita dapatkan pun akan berbeda. Sesungguhnya tia-tiap kita akan memperoleh sesuatu niat yang menggerakkan kita melakukan sesuatu.

Sama kegiatan yang kita lakukan, beda niat yang senantiasa menyertai, akan membawa kondisi ruhiyah kita pada keadaan yang berbeda. Itu sebabnya, meski sama-sama bertekun dengan kebaikan yang sama, keduanya dapat menuju tataran ruhiyah yang berbeda atau bahkan saling berseberangan.

Sesungguhnya tiap amal atau ibadah yang kita kerjakan, meski cara sama-sama benar sesuai yang digariskan, niat melakukannya dapat termasuk:

1. Ikhlas karena Allah & Hanya Berharap Ridha Allah
2. Ikhlas karena Allah, tapi Tujuannya Dunia (Syirik Niat)
3. Tidak Ikhlas
• Riya' dan Tidak Mencari Dunia
• Riya' dan Mengharap Dunia dari Amalnya
4. Tidak karena Allah, Tidak untuk Akhirat, Tidak Pula untuk Dunia

Hanya niat ikhlas karena Allah 'Azza wa Jalla dan akhirat tujuannya yang dapat menjadikan hidup kita dan keluarga kita penuh barakah. Maka agar rumah-tangga berlimpah barakah, suami-isteri perlu saling mengingatkan untuk senantiasa meluruskan niat dan menjaga amalnya dari cara-cara yang bertentangan dengan tuntunan dienul Islam.

Inilah yang perlu kita renungi. Inilah yang perlu kita telisik dalam diri kita dan keluarga kita. Jika apa yang sepatutnya kita kerjakan telah kita penuhi, jika komunikasi sudah kita jalin dengan baik, teapi hati kita gersang meski tak ada perselisihan, maka inilah saatnya kita menelisik niat dan orientasi kita dalam beribadah, beramal dan menjalani kehidupan rumah-tangga.

Mari kita ingat sejenak ketika Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'aam, 6: 162-163).

Tidak mungkin hidup kita –termasuk keluarga kita—hanya untuk Allah Ta'ala jika shalat dan ibadah kita saja bukan untuk Allah 'Azza wa Jalla.

Sesudahnya, kita perlu periksa rezeki yang kita dapatkan, adakah ia penuh barakah atau justru sebaliknya tak ada barakah sedikit pun di dalamnya? Atas setiap rezeki yang barakah, bertambahnya membawa kebaikan yang semakin besar, dan berkurangnya tidak menciutkan kebaikan. Mungkin mata kita melihatnya berat, tapi ada ketenangan dan kebahagiaan pada diri mereka, meski mereka nyaris tak pernah bersenang-senang. Sebaliknya jika rezeki tak barakah, bertambahnya semakin menjauhkan hati mereka satu sama lain. Sedangkan berkurangnya membawa hati kita saling bertikai, meski tak ada pertengkaran, atau sekurang-kurangnya menyebabkan terjauhkan dari kebaikan.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Ada Agama Selain Islam

Suatu ketika seorang guru bertanya setengah mengeluh. Ia sudah berusaha menjadi guru yang baik dan senantiasa melindungi aqidah anaknya agar tak terkotori oleh hal-hal yang merusak. Kepada murid-murid­nya –sebagaimana kepada anaknya sendiri—ia selalu menunjukkan bahwa di dunia ini hanya ada satu agama. Kebetulan ia menjadi kepala sekolah, sehingga "idealismenya" bisa diwujud­kan lebih leluasa. Setiap kali ada hari libur keagamaan non Islam, sekolah tetap masuk dan guru tidak boleh menginformasikan yang sesungguhnya. Guru hanya boleh menginformasi­kan kepada murid dengan satu ungkapan: "hari libur nasional". Apa pun liburnya!

 

Sungguh, sebuah usaha yang serius!

 

Hasilnya, anak-anak tidak mengenal perbedaan semenjak awal. Dan inilah awal persoalan itu. Suatu ketika anaknya bertemu dengan anak rekannya yang non muslim. Begitu tahu anak itu bukan muslim, anaknya segera bertindak agresif. Anaknya menyerang dengan kata-kata yang tidak patut sehingga anak rekannya menangis. Peristiwa ini menyebabkan ia merasa risau, apa betul sikap anaknya yang seperti itu.

 

Tetapi ini belum seberapa. Ada peristiwa lain yang lebih memilukan. Saya tidak tahu apa yang selama ini ia ajarkan kepada murid-muridnya di sekolah. Tapi suatu hari salah seorang muridnya mengalami peristiwa "mencengangkan". Ia berjumpa seorang non muslim, yang akhlaknya yang sangat baik. Sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya, sehingga menimbulkan kesan mendalam bahwa ada agama selain Islam dan agama itu baik karena orangnya sangat baik.

 

Apa yang bisa kita petik dari kejadian ini? Semangat saja tidak cukup. Mendidik tanpa semangat memang membuat ucapan-ucapan kita kering tanpa makna. Tetapi keinginan besar menjaga aqidah anak tanpa memahami bagaimana seharusnya melakukan tarbiyah, jus­tru bisa membahayakan. Alih-alih menumbuhkan kecintaan pada agama, justru membuat a­nak terperangah ketika mendapati pengalaman yang berbeda. Beruntung kalau anak mengkomunikasikan, kita bisa meluruskan segera. Kalau tidak? Kekeliruan berpikir itu bisa terbawa ke masa-masa berikutnya hingga ia dewasa.Na'udzubillahi min dzaalik.

 

 

Hanya Islam yang Allah Ridhai

 

Apa yang harus kita lakukan agar anak-anak bangga dengan agamanya sehingga ia akan belajar meyakini dengan sungguh-sungguh? Tunjukkan kepadanya kesempurnaan aga­ma ini. Yakinkan kepada mereka bahwa inilah agama yang paling benar melalui pembukti­an yang cerdas. Sesudah melakukan pembuktian, kita ajarkan kepada mereka untuk percaya pada yang ghaib dan menggerakkan jiwa mereka untuk berbuat baik. Hanya dengan meya­kini bahwa agamanya yang benar, mereka akan belajar bertoleransi secara tepat terhadap pe­meluk agama lain. Tentang ini, silakan baca kembali kolom parenting bertajuk Ajarkan Jihad Sejak Dini yang saya tulis di buku Positive Parenting.

 

Ajarkan dengan penuh percaya diri firman Allah Ta'ala yang terakhir dalam urusan 'aqidah:

 

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم

 

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembe­lih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharam­kan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telahKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telahKu-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa senga­ja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Maa'idah, 5: 3).

 

Melalui penjelasan yang terang dan mantap, anak mengetahui bahwa agama di dunia ini banyak jumlahnya, tetapi hanya satu yang Allah Ta'ala ridhai. Baik orangtua maupun guru perlu menunjukkan kepada anak sejarah agama-agama sehingga anak bisa memahami meng­apa hanya Islam yang layak diyakini dan tidak ada keraguan di dalamnya. Jika anak tidak memahami proses terjadinya penyimpangan agama-agama di dunia, mereka dapat mengalami kebingungan mengapa hanya Islam yang Allah ridhai. Pada gilirannya, ini bisa menggiring anak-anak untuk secara pelahan menganggap semua agama benar. Apalagi jika orangtua atau guru salah menerjemahkan. Beberapa kali saya mendengar penjelasan yang mengatakan Islam sebagai agama yang paling diridhai Allah. Maksudnya baik, ingin menunjukkan bahwa Islam yang paling sempurna, tetapi berbahaya bagi persepsi dan pemahaman anak. Jika Islam yang paling diridhai Allah, maka ada agama lain yang diridhai dengan tingkat keridhaan yang berbeda-beda. Ini efek yang bisa muncul pada persepsi anak.

 

Kita perlu memperlihatkan pluralitas pada anak bahwa memang banyak agama di dunia ini, sehingga kita bisa menunjukkan betapa sempurnanya Islam. Mereka menerima pluralitas (kemajemukan) agama dan bersikap secara tepat sebagaimana tuntunan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Tetapi bukan pluralisme yang memandang semua agama sama.

 

 

Berislam dengan Bangga

 

Setelah anak meyakini bahwa Islam agama yang sempurna dan satu-satunya yang diridhai oleh Allah'Azza wa Jalla, kita perlu menguatkan mereka dengan beberapa hal. Pertama, kita bangkitkan kebanggaan menjadi muslim di dada mereka. Semenjak awal kita tumbuhkan kepercayaan diri yang kuat dan harga diri sebagai seorang muslim, sehingga mereka memi­liki kebanggaan yang besar terhadap agamanya. Mereka berani menunjukkan identitasnya sebagai seorang muslim dengan penuh percaya diri, "Isyhadu bi anna muslimun. Saksikanlah bahwa aku seorang muslim!"

 

Mereka berani menunjukkan keislamannya dengan penuh rasa bangga. Tidak takut dicela. Tidak khawatir direndahkan.

 

Kedua, kita biasakan mereka untuk memperlihatkan identitasnya sebagai muslim, baik yang bersifat fisik, mental dan cara berpikir. Inilah yang sekarang ini rasanya perlu kita gali lebih jauh dari khazanah Islam; bukan untuk menemukan sesuatu yang baru, tetapi untuk menemukan apa yang sudah pada generasi terdahulu yang berasal dari didikan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam dan sekarang nyaris tak kita temukan pada sosok kaum muslimin di zaman ini.

 

Ketiga, kita bangkitkan pada diri mereka al-wala' wal bara' sehingga memperkuat per­caya diri mereka. Apabila mereka berjalan, ajarkanlah untuk tidak menepi dan menyingkir karena grogi hanya karena berpapasan dengan orang-orang kafir yang sedang berjalan dari arah lain. Kita tidak bersikap arogan. Kita hanya menunjukkan percaya diri kita, sehingga tidak menyingkir karena gemetar.

 

Sikap ini sangat perlu kita tumbuhkan agar kelak mereka sanggup bersikap tegas terhadap orang-orang kafir dan lembut terhadap orang-orang yang beriman. Ingatlah ketika Allah Ta'ala berfirman:

 

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم

 

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun men­cintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maa'idah, 5: 54).

 

Nah.

 

 

Berislam dengan Ihsan

 

Jika percaya diri sudah tumbuh, kita ajarkan kepada mereka sikap ihsan. Kita tunjukkan kepada anak-anak itu bagaimana seorang mukmin dapat dilihat dari kemuliaan akhlak dan lembutnya sikap. Ada saat untuk tegas, ada saat untuk bersikap menyejukkan. Bukan un­tuk menyenangkan hati orang-orang kafir dikarenakan hati yang lemah dan diri yang tak ber­daya, tetapi karena memuliakan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Bukankah Rasulullah shalla­Llahu 'alaihi wa sallam berdiri menghormat ketika jenazah orang kafir diantar ke tanah peku­buran? Bukankah Shalahuddin Al-Ayyubi, salah seorang panglima yang disegani dalam se­jarah Islam, memperlakukan musuh-musuhnya dengan baik dan penuh kasih-sayang ketika musuh sudah tidak berdaya?

 

Pada saatnya, kita ajarkan kepada mereka untuk menghormati hak-hak tetangga, muslim maupun kafir. Kita tunjukkan kepada mereka hak-hak tetangga beserta prioritasnya, mana yang harus didahulukan. Ada tetangga yang dekat pintunya dengan rumah kita, ada pula yang jauh; ada tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga, ada pula yang orang lain sama sekali; serta ada tetangga muslim, ada pula yang kafir. Masing-masing memiliki hak yang berbeda-beda.

 

 

Dorongan untuk Berdakwah

 

Ada anak yang menjadi sumber pengaruh, ada yang lebih sering terpengaruh. Anak-anak yang mengarahkan teman-temannya dan menjadi inspirasi bagi dalam berbuat, baik negatif maupun positif, ditandai dengan karakter yang kuat dan menonjol. Umumnya anak-anak yang menjadi sumber pengaruh lebih sedikit jumlahnya. Mereka biasanya bersikap proaktif dalam berpendapat, selalu berusaha meyakinkan temannya, berbicara dengan mantap serta memiliki percaya diri yang tinggi.

 

Agar anak-anak itu memiliki percaya diri yang lebih kuat lagi sebagai seorang muslim, kita perlu tanamkan dorongan untuk menyampaikan kebenaran serta mengajak orang lain pada kebenaran. Ini sangat penting untuk menjaga anak dari kebingungan terhadap masalah keimanan dan syari'at. Tidak jarang anak mempertanyakan, bahkan mengenai sesama muslim yang tidak melaksanakan sebagai syari'at Islam. Misalnya mengapa ada yang tidak pakai jilbab.

 

Melalui dorongan agar mereka menjadi penyampai kebenaran, insya-Allah kebingung­an itu hilang dan berubah menjadi kemantapan serta percaya diri yang tinggi. Pada diri me­reka ada semacam perasaan bahwa ada tugas untuk mengingatkan dan menyelamatkan. Ini sangat berpengaruh terhadap citra dirinya kelak, dan pada gilirannya mempengaruhi konsep diri, penerimaan diri, percaya diri dan orientasi hidup.

 

Wallahu a'lam bish-shawab.

The Living Qur'an

Apa yang bisa kita petik dari zaman keemasan Islam? Orang-orang yang hidup jiwanya, bersih hatinya, bersemangat hidupnya, tajam akalnya, gigih usahanya dalam segala urusan kebaikan dan ilmu, serta ringan tangannya untuk mem­bantu sesama dengan harta, tenaga maupun segala kemampuannya semata-mata karena meng­harap ridha Allah 'Azza wa Jalla. Inilah orang-orang yang malam harinya bersujud dan siang harinya seperti singa yang perkasa. Tak mundur selangkah hanya karena gentar kepada ma­nusia atau kecil hatinya tatkala melihat dunia tak ada dalam genggamannya. Mereka menjadi manusia-manusia yang sangat produktif, matang pikirannya dan tajam nalarnya karena ter­gabung dalam diri mereka aqidah yang lurus, akal yang senantiasa bekerja keras untuk mene­mukan kebenaran dan memahami kebenaran dengan lebih matang sekaligus merenungi pen­ciptaan AllahTa'ala secara terus-menerus, berimbangnya rasa takut yang kuat dengan harapan yang optimistik sehingga mereka menjadi pribadi yang senantiasa bersemangat dan sekaligus mawas diri, serta hati yang senantiasa tergerak untuk melakukan amal shaleh. Mereka tidak meremehkan berbagai jenis amal shaleh, betapa pun tampaknya kecil di hadapan manusia.

 

Mereka inilah orang-orang yang mendapat petunjuk. Mereka inilah yang memperoleh tempat istirahat terbaik berupa surga; tempat yang tiada lagi rasa letih dan lelah. Merekalah orang-orang yang memperoleh petunjuk karena imannya; orang-orang yang imannya menggerakkan mereka untuk senantiasa berbuat baik. Mereka menjadi bijak karena imannya, sehingga sewaktu-waktu bisa lemah-lembut. Sementara di saat lain, mereka bisa tegas dan bahkan keras, tanpa bergeser sedikit pun pikiran dan sikapnya oleh tekanan.

 

Teringatlah saya pada firman Allah 'Azza wa Jalla"Sesungguhnya orang-orang yang ber­iman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanan­nya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan." (QS. Yunus, 10: 9).

 

Di zaman keemasan Islam, lahir para pemimpin yang disegani dan ilmuw­an yang melahirkan sangat banyak penemuan, termasuk di bidang-bidang sains. Mereka produktif melakukan terobosan ilmiah dalam bidang matematika, kimia, mekanika fluida, sosiologi dan cikal bakal ilmu psikologi terutama karena kedekatannya dengan Al-Qur'an. Tetapi ini sesungguhnya merupakan akibat saja. Mereka membaca, merenungi, mengamalkan dan berusaha untuk senantiasa memperoleh manfaat yang besar. Para fuqaha mendalami berbagai cabang ilmu disebabkan kehati-hatiannya dalam berfatwa sehingga merasa perlu persoalan selengkap-lengkapnya, sematang-matangnya. Mereka merasakan dan menghayati betul pesan tiap-tiap ayat karena mereka mengimani dengan sungguh-sungguh. Tanpa keimanan yang kuat, ayat Al-Qur'an hanya menjadi bacaan atau bahkan sekedar bahan pembenaran bagi gagasan yang kita sukai.

 

Hari ini, kita kehilangan elan vital –daya hidup—yang luar biasa ini. Hari ini kita perlu melihat kembali apa yang sudah kita lakukan dalam mendidik anak-anak kita. Jika kita berharap mereka kelak menjadi manusia yang mendapatkan petunjuk, yakni orang-orang yang memperoleh hidayah dari Allah serta menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk (huda), pembeda yang tegas (furqaan) antara yang haq dan yang bathil, serta penjelas yang terang di antara petunjuk-petunjuk, kita perlu menghunjamkan di dada mereka keinginan untuk mengamalkan Al-Qur'an. Ini berarti kita perlu memberi pengalaman religius yang mengesankan agar mere­ka memiliki perasaan religius yang menggelora. Jika bergabung dalam diri mereka pengeta­huan agama, pengalaman religius serta perasaan religius yang kuat, insyaAllah mereka akan menjadi pribadi yang kaya inspirasi, penuh semangat serta gigih berusaha karena dorongan iman.

 

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Pengalaman religius inilah yang perlu kita berikan saat mengajarkan Al-Qur'an kepa­da anak-anak kita, sehingga mereka memiliki perasaan yang kuat bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk dan sumber inspirasi yang penuh kebaikan. Kita ajarkan mereka satu ayat misalnya, lalu kita gerakkan mereka untuk berbuat. Atau kita ajak anak-anak untuk melakukan sesuatu, sesudah itu kita terangkan ayat yang menjadi landasan untuk bertindak. Misalnya, kita bisa mengajak anak-anak untuk berinfak dengan uang saku mereka –bukan meminta dari rumah—agar mereka memiliki pengalaman berkorban secara lebih mengesankan. Infak itu kita beri­kan kepada orang yang berjuang di jalan Allah Ta'ala, betapa pun mereka seakan-akan tidak memerlukan, lalu kita jelaskan kepada mereka ayat berikut ini:

 

للفقراء الذين أحصروا في سبيل الله لا يستطيعون ضربا في الأرض يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم لا يسألون الناس إلحافا وما تنفقوا من خير فإن الله به عليم

 

"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena meme­lihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah, 2: 273).

 

Jika hati mereka sudah kuat, di saat yang lain kita bisa menggerakkan mereka menginfakkan harta yang mereka cintai untuk memenuhi seruan Allah 'Azza wa Jalla pada surat Ali Imran ayat 92:

 

لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم

 

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menaf­kahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Ali Imran, 3: 92).

 

Begitulah. Mereka mempelajari Al-Qur'an, berlatih menghafal, dan berusaha mewujudkan Al-Qur'an dalam kehidupan. Saya membayangkan, guru-guru bisa membacakan satu ayat Al-Qur'an setiap hari sesudah apel motivasi, dan menjadikan ayat itu sebagai semangat; sebagai ruh bagi proses pembelajaran di sekolah selama sehari penuh. Setiap guru mengulang pembacaan ayat tersebut dan menerangkan kembali secara kreatif di awal dan akhir tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan sebelum siswa pulang, ayat itu dibacakan lagi disertai dorongan untuk memohon kepada Allah Ta'ala agar dilimpahi kasih-sayang dengan Al-Qur'an.

 

Allahummarhana bil Qur'an.

Karena Anak Perlu Sentuhan Jiwa

Karena Anak Perlu Sentuhan Jiwa
Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Mengesankan. Saya menerima naskah buku Human Touch dalam sebuah paket sangat tebal. Semula saya mengira paket tersebut berisi sejumlah buku yang telah terbit. Tetapi ternyata paket seukuran satu kardus 5 rim kertas HVS tersebut berisi naskah 1 judul buku yang sedang dipersiapkan penerbitannya. Istri saya terperangah, tetapi dengan segera ia antusias membaca naskah tersebut. Tak percuma buku ini ditulis sedemikian tebal. Selain kaya informasi, buku ini juga memiliki pijakan nash yang sangat kuat. Inilah kelebihan yang jarang dimiliki oleh buku-buku parenting Islami. Biasanya, jika buku tersebut memiliki pijakan nash yang kuat, ia kehilangan aktualitasnya. Bukan berarti nash yang shahih tidak bersifat aplikatif karena sesungguhnya nash itu memang untuk diterapkan, tetapi sangat jarang penulis yang mampu menariknya dalam kehidupan terkini.

Alih-alih, kadang perbincangan tentang teori maupun isu aktual terkesan hanya sebagai penguat saja sehingga dien ini terkesan minder di hadapan teori-teori terkini. Padahal seharusnya dien ini merupakan penakar bagi segala sesuatu yang datangnya kemudian, baik itu teori, teknik maupun isu terkini. Sering pula kita dapati buku-buku yang bermaksud menunjukkan ketinggian dien ini, tetapi terjebak pada sikap jumud atau sebaliknya: terlalu akomodatif terhadap hal-hal baru.Yang lebih parah, buku-buku yang judul dan kemasannya tampak Islami tidak jarang menjadikan nash Al-Qur'an maupun As-Sunnah Ash-Shahihah hanya sebagai pembenar. Yang ditulis sebenarnya murni berdasarkan pendekatan yang dipilihnya, tetapi dicari-carikan nash yang tampak bersesuaian sebagai dalil. Padahal sangat berbeda dalil dengan dalih.

Buku jenis terakhir ini kadang lahir dari mereka yang awam dalam masalah dien, tetapi tidak menyadari keawamannya sehingga membuatnya sangat berani melangkah. Kadang muncul dari mereka yang sangat bersemangat dalam agama, sebegitu bersemangatnya sehingga ia kehilangan kejernihan untuk menimbang dengan baik dan hati-hati apa yang baru muncul menurut takaran dien. Kadang pula buku sejenis itu ditulis oleh mereka yang sepenuhnya sadar bahwa dirinya tidak memiliki kepatutan dalam masalah dien, tetapi ia mengabaikan hal tersebut demi meraih dunia yang secuil. Na'udzubillahi min dzaalik.

Adapun saya, termasuk bagian yang pertama. Sesungguhnya saya masih sangat awam dalam masalah dien. Kebodohan saya terutama sangat terasa manakala belajar lebih jauh di waktu-waktu berikutnya kepada orang-orang yang memang memiliki kepatutan untuk berbicara tentang dien. Inilah yang menyebabkan saya gamang ketika harus member kata pengantar untuk buku ini. Disamping itu, buku ini mengesankan buat saya sehingga cukup menenggelamkan saya dan menggoda diri saya untuk menulis tema-tema parenting dengan berpijak pada pembahasan yang ada di buku ini. Kadang saya tergoda untuk menulis lebih cair sesuai konteks masyarakat Indonesia sehingga terasa lebih hidup. Tetapi saya mengurungkan diri sejenak. Itu godaan yang membuat kata pengantar buku ini tak kunjung selesai.

Cakupan tema buku ini sangat luas. Sebegitu luasnya sehingga terasa sekali betapa nyaris tak ada ruang yang tersisa dalam kehidupan kita ini kecuali ada bagian yang patut kita manfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk mendidik anak kita. Secara garis besar, penulisnya –Dr. Muhammad Muhammad Badri—telah memilah menjadi beberapa bab dalam dua jilid tebal. Saya sangat berharap agar terjemahan buku ini dapat diterbitkan dalam dua atau tiga edisi sebagai ikhtiar untuk memaksimalkan manfaatnya. Selain penerbitan sesuai edisi aslinya, yakni dua jilid tebal, buku ini sebaiknya juga terbit dalam kemasan yang lebih ringkas sehingga memudahkan orang untuk membaca dimana saja. Ini serupa dengan langkah yang saya tempuh pada buku saya trilogy Kupinang Engkau dengan Hamdalah. Selain terbit dalam tiga jilid terpisah, yakni Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Mencapai Pernikahan Barakah & Disebabkan Oleh Cinta, trilogi tersebut juga terbit dalam satu jilid utuh berjudul Kado Pernikahan untuk Istriku. Langkah ini memudahkan bagi para pembaca dengan kebutuhan berbeda-beda untuk mengambil manfaat dari buku tersebut.

Kembali berbincang tentang buku Human Touch karya Dr. Muhammad Muhammad Badri. Ada nasehat penting di jilid 2 buku ini. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, "Cintailah anak-anak Anda dengan cinta yang nyata; tunjukkan kesalahan mereka dengan lembut dan santun; bersabarlah dalam menghadapi perilaku mereka; bersikaplah sesekali seakan-akan Anda mengabaikan kesalahan mereka; jadikanlah diri Anda sebagai teladan bagi mereka; gunakanlah cara dan metode yang tepat dalam melakukan itu. Gunakan bahasa cinta dan kasih-sayang."

Ungkapan ringkas ini mengingatkan kepada kita, yakni keharusan mencintai anak-anak dengan cinta yang nyata. Banyak orangtua datang konsultasi kepada saya bermula dari tidak adanya perasaan dicintai pada diri anak. Orangtua merasa sudah tidak kurang-kurang dalam mengasuh anak, tetapi anak merasa orangtua tak peduli kepadanya. Orangtua merasa mencintai anaknya, tetapi anak tak melihat dan merasakan cinta itu secara nyata. Meski tak sedikit orangtua yang harus disadarkan betapa mereka belum mencintai anaknya dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, bagaimana menunjukkan kepada anak agar mereka tak menganggap kita hanya bicara, melainkan lebih penting lagi mereka merasakan dan yakin bahwa kita mencintai mereka? Inilah sisi menarik buku Human Touch.

Ungkapan ringkas yang saya kutip tadi menarik untuk kita renungkan. Sebagai kata bijak, nasehat Dr. Muhammad Muhammad Badri tersebut sangat mengena. Tetapi jika kita buka lagi lembaran-lembaran sebelumnya maupun sesudahnya dari buku ini, nasehat tersebut sesungguhnya merupakan ringkasan. Melalui buku ini, ia mengajak kepada kita memahami cara dan sekaligus menuntun kita untuk mampu menggunakan metode yang tepat dalam mencintai anak secara nyata, meluruskan kesalahan dengan lembut dan santun dan mengendalikan diri agar mampu menghadapi berbagai kesalahan perilaku anak seraya meluruskannya dengan cara yang tepat.

Cinta kepada anak akan melahirkan penerimaan yang tulus terhadap mereka. Ini merupakan bekal sebagai orangtua agar dapat berlapang dada menerima mereka. Tetapi ini sekaigus dapat menggelincirkan kita untuk membiarkan kesalahan mereka. Betapa banyak anak yang akhirnya harusnya menghadapi masalah besar dalam kehidupannya bersebab hilangnya ketegasan orangtua. Mereka tidak tega mengambil tindakan karena rasa cintanya kepada anak dibiarkan menguasai tanpa kendali. Atau sebaliknya, karena ingin bersikap tegas, maka hilanglah kelembutan dalam bertutur dan bersikap. Alih-alih mau meluruskan kesalahan anak, kita justru bersikap sangat kasar. Na'udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah Ta'ala ampuni saya atas bertumpuknya kesalahan dalam mengasuh anak-anak yang Allah Ta'ala amanahkan kepada saya. Semoga Allah Ta'ala ampuni kita semua.

Tentang meluruskan kesalahan anak, Dr. Muhammad Muhammad Badri mengingatkan, "Kita memulai dengan member tahu anak sisi-sisi negatif perilaku itu, lalu mengajaknya berdiskusi sewaktu ia tenang, santai dan antusias. Kita memulai dialog dengan pujian terhadap budi pekertinya yang pantas dipuji."

"Ketika mereka berbuat salah," kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, "kita beri mereka kesempatan untuk mendengar tentang perbuatan mereka dengan tenang dan mencerahkan. Sebab, mungkin saja mereka tidak mengetahui dampak negatif dari kesalahan mereka, ataupun dampak positif dari tindakan yang benarm lantaran kita belum pernah member tahunya. Semestinya, kita mencela diri kita sendiri; itu baru adil namanya."

Inilah yang perlu kita renungkan. Betapa mudah mencela anak, dan betapa sulit mencela diri sendiri. Padahal awalnya diri sendiri. Di buku ini, terasa sekali betapa pentingnya membenahi diri sendiri sebagai bekal untuk mengasuh dan mendidik anak, termasuk dalam meluruskan kesalahan maupun menumbuhkan ketaatan anak kepada orangtua. Begitu pun tatkala kita ingin memotivasi anak.

Mari kita simak bagian lain buku ini. Bacalah dengan seksama nasehat indah berikut ini, "Tentu saja untuk dapat member motivasi yang baik kepada anaknya, seorang ibu harus terlebih dulu mengetahui cara mengendalikan dirinya sendiri agar motivasi yang disampaikan kepada anak tidak berubah menjadi pelampiasan marah. Lagi pula, ketika memberi semangat atau dorongan kepada anak, seorang ibu harus menyadari sepenuhnya akan masa depan si anak karena setiap umpatan dan amarah yang ditumpahkan kepada anak hanya menumbuhsuburkan sikap membangkang, keras kepala, nakal, dengkiri, dan sebagainya. Bukan hanya itu, amarah orangtua juga mengubur kecenderungan anak untuk bersikap berani dan kreatif. Bahkan terkadang akibat amarah orangtua terhadap anak jauh lebih pahit dari yang kita bayangkan."

Kemampuan memotivasi anak dengan motivasi yang benar; motivasi yang semakin menguatkan keyakinannya kepada Allah Ta'ala dan terbebas dari kesyirikan, sangat penting untuk kita miliki bukan hanya untuk memacu mereka agar bersungguh-sungguh dalam kebaikan. Motivasi juga perlu kita berikan untuk menguatkan hati mereka menerima kritik. Kata Dr. Muhammad Muhammad Badri, "Ketika menyampaikan kritik kepada anak, hendaklah Anda menyandingkannya dengan pemberian motivasi sambil terus menanamkan harapan ketika datang masa sulit."

"Contohnya," katanya lebih lanjut, "adalah penting untuk meyakinkan anak bahwa nilai yang buruk dalam ujian tidak identik dengan kegagalan atau kekalahan yang tidak terampuni. Nilai buruk hanyalah sebuah pertanda buruk sehingga ia harus dihadapi dengan upaya sungguh-sungguh untuk meraih nilai yang lebih baik."

Selain motivasi, kita juga perlu memberi mereka inspirasi. Salah satu cara menginspirasi yang baik adalah menuturkan kisah kepada mereka. Melalui cara ini, kita berusaha menanamkan nilai-nilai kepada mereka. Kita mengajarkan din al-Islam ini melalui cerita, menyampaikan pertanyaan yang mengena, mengilustrasikan dengan gambar atau diagram dan berbagai cara lain yang memiliki pijakan syar'i. Nah, inilah yang perlu kita pelajari dari buku ini.

Pembahasan lain yang rasanya tak boleh kita lewatkan dari buku Human Touch adalah bagian II jilid 2 yang bertajuk: Jika Anda Ingin Dipatuhi. Sebagaimana tercermin dari judulnya, bagian ini mengajak kita menggali apa saja yang kita perhatikan agar anak-anak patuh kepada kita. Kita perlu bersungguh-sungguh mempelajari bagian ini, bukan terutama agar kita dapat menjadi orangtua efektif. Ada hal lebih penting lagi, yakni bagaimana mengantarkan anak dan menjaga mereka agar berada di jalan yang benar; jalan yang Allah Ta'ala ridhai dan tidak menjatuhkan mereka dalam kedurhakaan sehingga Allah Ta'ala murka kepada mereka.

Terakhir, tampaknya sepele tapi sungguh ia merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini adalah do'a. Sebaik apa pun kita mendidik anak, ada yang tak dapat kita abaikan, yakni ketulusan dan kesungguhan memohon pertolongan, penjagaan dan perlindungan Allah 'Azza wa Jalla dari segala keburukan, yang tampak maupun tak tampak. Sungguh, tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Sungguh, Dia yang menggenggam hati manusia sebagaimana Dia mengggenggam seluruh yang ada di alam semesta ini. 

Seyakin apa pun kita terhadap upaya kita, kita tetap tidak sanggup menggenggam hidup kita sendiri. Lebih-lebih kehidupan anak-anak kita, cucu kita dan keturunan kita berikutnya. Maka kepada Allah 'Azza wa Jalla kita sungkurkan kening, mengakui kehinaan diri dan memohon dengan penuh pinta kepada-Nya.

Demikianlah. Semoga buku ini menjadi kebaikan bagi yang menulis,menerjemah, menerbitkan maupun yang membaca. Semoga Allah Ta'ala jadikan kita dan keturunan kita seluruhnya termasuk golongan orang-orang beriman; golongan yang Allah Ta'ala berikan sebaik-baik perlindungan di Yaumil-Qiyamah. Allahumma amin.